By: Lova Fimayoki
Aku (Eya) masuk ke ruang kerja mamaku, terlihat dari mukanya, dia sedang serius.
“Mama?” Aku berkata pelan, aku takut mengganggu ke-seriusan mama.
“Iya nak?” Mama berkata, jengkel rasanya mendengar suara itu, suara yang menandakan mama lagi tidak begitu peduli.
“Ma, aku mau keluar, bertemu dengan kawan.” Aku berkata pelan.
“Tidak boleh!” Mamaku berkata tiba-tiba dengan keras. “Haaah…. Kenapa?” Aku bertanya sambil menepuk kedua pipi-ku.
“Lihatlah di luar, anginnya kencang sekali, gak mungkin kamu main! Kamu juga harus packing, ajak kedua kakak-mu!” Mama menjawab dengan keras.
Mama benar, aku harus packing, besok pagi aku dan Kakakku akan di jemput paman, kita akan ke rumah paman yang ada di desa.
“Iyaaaa….” Aku menjawab dengan lesu, aku pergi ke ruang membaca, maksudku ke Sana untuk memanggil Kakak-kakakku, tapi mereka tidak di sana.
“Lho.” Aku terkejut, sebelum aku masuk ke ruang kerja mama, mereka ada di situ. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada siapa-siapa di sana, tiba-tiba terdengar suara yang samar-samar dari ruang belajar, tentunya aku heran, masa Kakakku ribut di ruang belajar pas hari pertama libur panjang? Aku masuk ke ruang belajar, aku melihat Kak Elma dan Kak El ribut, mereka membicarakan tentang perhitungan matematika, Kak El merasa jawabannya yang benar, Kak Elma pun merasa demikian.
“Kak…” Suaraku hilang di terkam amukan Kak El yang berteriak ke Kak Elma, emang Kakakku itu kadang rukun kadang nggak.
“Kak!” Aku bicara lebih keras, rasanya sudah keras sekali, tapi tetap saja, amukan kedua Kakakku itu lebih keras! Aku bingung, rasanya kesal tak di dengarkan, aku ingin berteriak lebih kencang, tapi tidak jadi, aku bisa dimarahi habis-habisan kalau aku berteriak. Sungguh lama aku harus menunggu mereka selesai, mereka ribut sekali, aku yakin mamaku yang lagi serius akan ke sini karena merasa terganggu.
Dugaanku benar, tak berapa lama setelah aku datang, mama membuka pintu, mukanya merah padam.
“Kakak! Mama itu lagi serius kerja! Kalian ribut aja, ayo packing, adikmu sudah memanggil dari tadi pasti, kalian gak dengar!” Kemarahan mamaku meledak, kata-katanya tidak beraturan saking marahnya.
“Maaf ma…..ka..”
Mama melotot. “Kalian gak usah minta maaf ke mama, minta maaf ke adikmu ini! Dia sudah memanggil kalian dari tadi!” Mama berkata sambil berjalan keluar, kakak-Kakakku menunduk, mereka takut dengan kemarahan mama, aku pun takut.
Aku melihat Kakakku mengambil peralatan menulis dan segera keluar, terdengar sebuah suara di telingaku. “Ayo kita ke kamar dik.” Itu suara Kak Elma, suaranya nyaris tak terdengar, hanya seperti angin yang bertiup.
Esoknya….
Aku sudah siap dari jam 7, begitu pula Kakakku, kita sudah siap. Sebenarnya paman akan menjemput jam setengah 8, tapi kita sudah benar-benar tak sabar, desa yang indah itu punya banyak tempat yang bisa di jelajahi.
“Kalian ini!” Mamaku mencubit pipiku, mama gemas dengan kita, setiap kita berlibur ke desa paman, aku dan Kakakku selalu terburu-buru.
“Hehe….. Paling habis ini paman sampai, kan sudah hampir jam setengah 8.” Kak El berkata sambil menggaruk kepalanya.
“Iya, kan suda…” Suaraku terpotong dengan suara klakson mobil paman, kita langsung menoleh, suara klakson mobil paman itu khas sekali bagiku dan Kakakku, mama sudah bilang bahwa suara klakson mobil itu sama semua, nggak ada bedanya, tapi aku dan kedua Kakakku tidak peduli, di telinga kita suara klakson mobil paman itu berbeda.
“Paman!” Aku melompat ke gendongannya. “E3ya!” Kata Pamanku, panggilan yang aneh di telinga semua orang kecuali aku dan Pamanku. Kita masuk ke mobil yang hanya cukup untuk 5 orang, emang mobil paman tidak begitu besar, kan orang desa.
“Anak-anak, nggak ada yang ketinggalan kan?” Mama berkata dari luar mobil, kita mengeleng.
“Bagus.” Mama tersenyum, dia mengacungkan jempolnya.
Brrrrrrrrrmmmm mobil kecil paman yang nyaman mulai berjalan, desa tempat tinggal Paman itu bernama Green Public, tempat yang indah dan subur, orang-orang di sana pun baik-baik.
“Paman, apakah ada yang baru di desa paman?” Aku bertanya sambil memandang kaca mobil.
“Ada, sebuah taman yang di beri nama taman Ba.” Paman berkata, dia tidak menoleh kepada kita.
“Berarti ‘Pohon Ba’ ada di situ?” Kak El memandang paman.
“Iya, betul sekali! Taman itu bagus sekali, di sekitarnya ‘Pohon Ba’ ada banyak rumput dan juga pohon, taman-nya juga subur.
“Paman membelokkan setir. Sungguh perjalanan yang panjang, tapi aku dan kedua Kakakku sudah biasa, sering sekali kita ke rumah paman, di sana ada Bibi yang jago banget bikin kue, ada Kak Sisi yang hafal semua jalan di desa, dan ada Rock, anjing peliharaan paman. Aku rasanya mengantuk sekali, padahal aku ingin melihat jalan, tapi kantuk itu rasanya menerkam kuat-kuat, jadi aku tidak bisa menahan lagi.
3 jam kemudian,
“Eya, bangun!” Terdengar di telingaku, samar-samar suara Kak El memanggilku.
“Iya…” Aku menjawab pelan, mataku masih susah melihat jelas, aku pun perlu mengingat di mana aku berada. “Ah, ini sudah di desa?” Aku berkata ngasal, aku tidak tau aku di mana. “Tidak, ini di tempat makan, masih jauh dari desa,
“Kau ingat kan? Om Wip?” Kak El menyebut nama orang pemilik tempat makan itu, tempat makan langganan paman.
“Oh, kita makan dulu? Asyik!” Tentunya aku bersemangat, makanan-makanan di tempat makan itu sangat enak, aku dan Kakakku sudah sering ke sana, setiap kita mau ke desa Green Public.
Aku melihat istri om Wip, dia sungguh pintar memasak, aku dan Kak Elma membantunya.
“Hmmmm, siapa yang mau ayam panggang di guyur kuah kaldu.” Itu makanan kesukaanku setiap ke sana. Aku membawakan mangkok berisi kuah kaldu.
“Aku!” Paman, Kak El, dan Kak Elma berkata serempak, semuanya suka dengan ayam kuah kaldu atau biasa di panggil Akk.
“Hmmm…” Paman menghirup asap hangat dan juga bau sedap ayam kuah kaldu, kita berbincang-bincang sambil makan, aku menceritakan kepada istri om Wip yang biasa aku panggil dengan tante Tina tentang apa yang aku ingin lakukan di desa Green Public nanti.
Beberapa menit kemudian, paman menyetir mobil, sudah waktunya untuk melanjutkan perjalanan menuju desa. “Daaaah!” Aku dan kedua Kakakku melambaikan tangan ke om Wip dan tante Tina. “Paman, ayo cepat!” Aku berseru kepada paman, aku ingin ke Taman Ba dengan cepat.
Beberapa jam kemudian,
Aku terbangun dari tidurku, aku melihat sebuah gerbang yang bertuliskan Green Public.
“Kita sudah sampai?!” Aku berteriak, kencang sekali, semuanya kaget, Kak Elma yang tadi masih tidur langsung terbangun.
“Iya, kita sudah sampai.” Kak El berkata santai, dia lagi melihat Hp-nya.
“Yes!” Aku senang sekali.
“Wah, anginnya lagi kencang nih, kalian ke taman Ba-nya nanti dulu ya? Setelah anginnya reda.” Paman melihat kaca, emang sih, anginnya kencang, gak cocok main di taman.
Sesampainya di rumah paman.
“Bibiiii!” Aku memeluk Bibi, dia juga memelukku.
“Wah ada yang gak sabar nih!” Bibi berkata sambil menggelitikiku, geli sekali! “Ayo masuk, di luar dingin sekali, ganti pakaian mu, bibi akan menyiapkan kue, dan juga a Warm Cocholate Marshmellow.”
Bibi menyuruh-ku, mendengar kata ‘Warm Chocolate Marshmellow’ kita langsung menurut, bayangkan, meminum ‘Warm Chocolate Marshmellow’ di hari yang dingin… Mmmmmm, yum!
Aku mengganti pakaian-ku menjadi kaos lengan pendek berwarna merah muda, aku menggunakan rok selutut yang berwarna biru Navy.
“Kue dan cokelat hangat-nya sudah jadi?” Aku bertanya ke paman yang sedang duduk di ruang tamu, dia sedang membaca buku.
“Sudah!” Tiba-tiba Bibi keluar dari dapur, dia membawa nampan berisi 6 gelas cokelat hangat dan satu toples besar berisi kukis cokelat.
“Hmmmmm, cokelat semua! I love Chocolate!” Aku berseru sambil mengambil toples berisi kukis.
“Wah, nampan ini baru? Besar sekali!” Kak Elma bertanya.
“Iya, baru di beli kemarin, terus kalian mau datang, langsung ke pakai deh.” Jawab Kak Sisi, Kak Sisi lebih besar beberapa bulan dengan Kak El dan Kak Elma.
“Hihihi.” Aku tidak tahu apa yang lucu, aku melihat Kak Elma dan Kak Sisi tertawa kecil. Aku menoleh ke Kak El, Kak El sedang bingung dengan penjelasan paman soal matematika, paman emang jago matematika.
“Sudahlah sayang, ini hari libur, biarkan dia bersenang-senang.” Kata Bibi, Bibi merasa kasihan dengan Kak El yang kebingungan.
“Ayah! Kapan kita bisa ke Taman Ba? Aku ingin menunjukkan pohon bagus itu ke Elma.” Kak Sisi bertanya ke paman yang lagi meminum cokelat-nya.
“Setelah anginnya reda ya sayang.” Paman menurunkan buku yang lagi dia baca. Kita berbincang-bincang tentang hal-hal yang lucu, kita juga main tebak-tebakan paman yang sangat lucu, tapi masuk akal.
Beberapa menit kemudian,
Kita berpamitan pada paman, sungguh tak sabar-nya aku, setelah memakai sepatu aku langsung berlari menuju Taman Ba.
“Ini dia, Taman Ba!” Kak Sisi memperlihatkan Taman Ba kepada kita.
“Wah indahnya!” Aku langsung berseru, kepintaran-ku dalam memanjat pohon membuatku ingin memanjat salah satu pohon.
“Sisi, di mana pohon yang kau bilang bagus tadi?” Kak Elma bertanya penasaran.
“Aaaaaah, nanti saja lah! Aku ingin memanjat pohon itu!” Aku mengeluh.
“Tenang, pohon yang akan-ku tunjukkan sangat cocok untuk di panjati.” Kak Sisi menunjukkan jalan ke pohon itu.
Sesampainya,
“Ini dia!” Kak Sisi berseru. “Wah bagusnya!” Kak Elma memegang batang pohon itu.
“Kakak memang benar! Dahan-nya menjulang ke mana-mana, jadi aku bisa memanjat dengan mudah!” Aku berkata sambil memulai langkah pertama untuk memanjat. “Foto-In aku ya kalau sudah di atas!” Aku berseru saat aku sudah makin jauh dari tanah.
“Oke!” Kak El menjawab dari bawah.
“Uh, uh, sungguh tinggi pohon ini.” Aku kesusahan mencari pijakan untuk kaki-ku.
“Aduh!” Tiba-tiba tangan kanan-ku kehilangan pegangan. “Adik!” Kak Elma langsung sadar dan siap menangkapku.
“Kakaaaaak!” Tangan kiriku sudah tidak kuat menahan kakiku yang sudah tak berpijak di mana-mana.
“Uh!” Akhirnya tangan kanan ku mendapat pegangan.
“Kak! Aku akan turun, aku nggak jadi manjat!” Aku berteriak, semua orang yang melihatku pasti akan terkejut, aku hendak memanjat pohon yang tingginya 4 meter, dan aku sudah memanjat 2 meter!
Saat aku sampai di bawah semua orang sudah bubar, tidak banyak yang ke area ini, aku senang sekali, akhirnya sepi!
“Kita pulang yuk, anginnya mulai bertiup lagi.” Kak Elma menggigil kedinginan.
“Tenang saja kita akan baik-baik sa…..” Belum selesai bicara Kak El sudah…BRUK terjatuh karena tersandung batu dan terbentur sebuah gerbang.
“Auch!” Kak El mengusap kepalanya yang terbentur gerbang.
“Apakah menurutmu ini baik-baik saja?” Kak Elma berkata dengan muka marah.
“Nggak……. Tapiiiii gerbang apa itu?” Kita semua langsung melihat ke atas, gerbang itu terbuat dari besi yang sudah berkarat, plus, gerbang itu besar sekali.
“Waw, kayak gerbang istana ya?” Aku kagum, tiba-tiba terdengar suara langkah orang, kita semua menoleh, terlihat dari kejauhan ada 3 orang menggunakan baju serba hitam, Kak El menyuruh kita untuk bersembunyi di balik pohon tadi.
Aku melihat orang-orang itu membawa kotak besi yang besar, mereka mendorong kotak besi itu dengan troli besi.
“Apa yang mereka lakukan?” Aku berkata dalam hati, orang-orang itu masuk ke gerbang tadi dengan menyebut-nyebutkan nama tempat itu, namanya adalah Kastel Brown, sungguh Kastel yang tua. Kita menunggu sampai 3 orang itu benar-benar masuk gerbang Kastel Brown.
“Ayo.” Kak El berbisik dan mengajak kita pergi.
Sesampainya di rumah,
“Anak-anak! Kita sungguh mengkhawatirkan kalian!” Kata Bibi sambil memeluk kak Sisi.
“Syukurlah kalian selamat, paman hampir menelepon polisi untuk mencari kalian tadi.” Paman mengelus kepala-ku.
“Tapi paman, tadi kita melihat 3 orang menggunakan baju serba hitam masuk ke Kastel yang bernama ‘Kastel Brown’!” Kak El memberitahu.
“3 orang masuk ke Kastel Brown? Itu tidak boleh terjadi!” Paman langsung bersiap-siap untuk ke Taman Ba.
“Tapi paman, orang-orang itu menyebut Kastel Brown adalah markasnya!” Kak Elma memberitahu, aku mengangguk.
“Iya ayah, aku tadi juga melihat mereka membawa sebuah kotak yang terbuat dari besi!” Kak Sisi ikut-ikutan memberitahu.
“Kotak Besi? Apa isinya?” Paman mengerutkan kening-nya.
“Kita tidak tahu paman.” Aku menjawab pelan.
“Hmmmmm, paman akan ke kantor polisi besok, paman akan memberitahu soal ini.” Paman melepas mantel yang tadi dia pakai.
“Tolong antar anak-anak ke kamar.” Paman menyuruh Bibi.
“Ayo ke kamar kalian, sudah waktunya tidur.” Bibi mengantarkan aku dan kedua Kakakku ke sebuah kamar kecil, ada 2 kasur di kamar itu, ada kasur lipat juga yang telah di beber.
“Tidurlah yang nyenyak, semoga kalian betah di kamar ini.” Bibi menutup pintu.
“Ayo kita tidur.” Aku berkata.
“Ganti baju dulu!” Kak Elma mengingatkan.
Setelah semua ganti baju, aku duduk di kasur, lampu sudah di matikan, tapi kita masih berbisik-bisik soal Kastel Brown.
“Aku curiga dengan 3 orang itu.” Aku berkata.
Setelah malam semakin larut, kita memutuskan untuk menyudahi pembicaraan ini. Saat hendak mengambil posisi tidur, aku dan kedua Kakakku mendengar sebuah suara, suara besi jatuh.
Kita melihat ke jendela yang cukup besar. “Hmmmm.” Aku bergumam pelan, sungguh hari yang membingungkan.
“Itu kan 3 orang yang tadi masuk ke Kastel Brown.” Kak Elma berbisik. “Iya, mereka tetap menggunakan baju serba hitam itu!” Kak El berkata dengan nada Kepo, dia seperti detektif yang berusaha mencari jawaban kejadian rahasia.
“Sudah, nggak perlu di perhatikan. Tidur yuk!” Aku mengajak kedua kakakku untuk tidur.
Tapi sayang, mereka sudah terlanjur Kepo dengan kejadian itu. “Kakak, ayo!” Aku menarik lengan kak El. Tidak ada reaksi…….. Mereka tidak mau mendengarkan-ku. Akhirnya aku pasrah, aku mengempaskan tubuhku di kasur empuk.
“Kakak, satu!” Aku mulai menghitung, itu artinya aku sudah bersiap perang. Masih belum ada reaksi. “Kakak, dua!” Aku melanjutkan.
“Iya, iya dik.” Akhirnya Kak El dan Kak Elma menyerah, mereka berjalan pelan menuju tempat tidur masing-masing.
Esoknya,
“Paman, paman, oooooh paman!” Sesudah sholat shubuh, aku langsung memanggil paman.
“Paman-mu ada di ruang tengah, ada apa?” Bibi mendatangiku, dia bertanya.
“Bibi ikut saja, ini masalah penting!” Aku berkata cepat sambil berlari menuju ruang tengah.
“Hosh…. Hosh, paman.” Aku sampai ke ruang tengah, lainnya sudah ada di belakangku.
“Paman, tadi malam ada sebuah kejadian, hosh, hosh.” Aku berkata dengan napas tersengkal-sengkal.
“Kejadian? Kejadian apa?” Tanya paman heran.
“Tadi malam, 3 orang yang masuk ke ‘Kastel Brown’ lewat di sebelah rumah ini.” Aku berkata sambil mengatur nafas-ku.
“Lewat? Kapan?” Kak Sisi segera bertanya.
“Tadi malam!” Aku menjawab tanpa berpikir apa yang sebenarnya terjadi.
“Iya, maksudku jam berapa?” Kak Sisi membetulkan kata-katanya.
“Kurang tahu sih, kalo gak salah jam 10 malam.” Kak El yang baru datang langsung menjawab pertanyaan Kak Sisi.
“Hmmmm, paman harus ke kantor polisi sekarang juga!” Paman bersiap-siap, dia mengambil mantel-nya yang tebal dan nyaman dipakai.
“Kenapa harus ngomong ke polisi?” Kak Elma bertanya.
“Untuk laporan! Tidak ada orang yang boleh masuk ke ‘Kastel Brown’ tanpa minta izin!” Teriak paman, dia berlari menuju pos polisi.
“Oooooh, gak boleh ya?” Aku beralih ke Kak Sisi.
“Ya, tidak boleh. Disana banyak barang-barang berharga peninggalan tetua-tetua desa Green Public ini.” Kak Sisi berkata, lalu dia menuju ke dapur diikuti aku, Bibi, dan Kak Elma.
“Barang berharga? Bahaya!” Kak Elma langsung menyadari apa yang terjadi.
“Kenapa bahaya?” Kak Sisi langsung memandang Kak Elma.
“Kamu tahu kan? 3 orang yang masuk ke ‘Kastel Brown’ membawa kotak yang terbuat dari besi, lalu, tadi malam mereka membawa kotak besi itu lagi, bukankah itu menunjukkan bahwa mereka mengambil barang-barang berharga itu.” Kak Elma berpikir secepat angin, emang dia pintar. Genius!
“Astaghfirulah!” Aku, Kak Sisi, Bibi, dan Kak El langsung menyadarinya.
“Kenapa harus pakai kotak besi?” Aku bertanya-tanya.
“Karena, barang-barang berharga itu banyak yang berat, ada emas, pot-pot bersejarah, mahkota kerajaan desa Green Public dulu, DMBL” Kak Sisi menjelaskan.
“DMBL? Apa itu?” Kak Elma bertanya sambil mengambil mangkok.
“DMBL artinya adalah ‘Dan Masih Banyak Lagi’.” Kak Sisi menjawab dengan santai.
“Haha, kamu pasti ngarang.” Kak Elma menaruh mangkok itu ke meja dapur.
“So? Masalahnya gimana?” Kak El bertanya. “Bibi akan ke pos polisi, mau menyampaikan masalah ini.” Bibi mengambil tas selempangnya. “Sisi, nanti tolong bersihkan dapurnya ya, setelah masak.” Bibi berkata, lalu menghilang dari rumah ini.
“Ayo kita masak buat sarapan.” Kak Elma mengajak, dia mengambil sendok besar yang terbuat dari kayu.
“Sendok apa itu?” Aku bertanya, pertanyaan-ku seperti pertanyaan anak-anak kecil yang nggak tahu apa-apa.
“Ini namanya ‘Wooden spoon’, bahasa indonesianya ‘Sendok kayu’.” Kak Sisi mengambil sendok itu dan menunjukkan Sendok kayu itu ke hadapanku.
“Kereeen, aku kok nggak pernah ngeliat ini di kota.” Aku mengambil ‘Wooden spoon’ itu.
“Sebenarnya ada di toko peralatan masak, tapi sudah jarang di pakai karena sudah ada sendok besi.” Kak Elma menjelaskan, dia mengambil kembali ‘Wooden spoon’ yang aku pegang.
“Hei!” Aku berteriak.
“Berarti dulu mengaduk masakan itu pakai ‘Wooden Spoon’ ya?” Kak El bertanya.
“Iya, biasa dipakai untuk mengaduk sop, selai, minuman, air panas, DMBL.” Kak Sisi menjawab.
“Masa kamu nggak tahu!” Kak Elma berkata sambil mengangkat-angkat ‘Wooden spoon’ itu, menghindari tanganku yang hendak merebut.
“Alaaaah, buat apa juga aku cepat-cepat tahu, kan itu urusan cewek, memasak kan tugas cewek.” Kak El berkata, tujuan kata-kata itu adalah untuk membela dirinya.
“Haha! Betul juga kamu, itu tugas perempuan.” Kak Sisi tertawa.
“Sudah, sudah, ayo kita masak, nanti jadi telat makan lho.” Kak Elma berkata sambil tertawa-tawa kecil melihatku dengan muka sebal, mukaku merah padam, pipi-ku di gembulkan, aku terlihat imut.
“Iya, ayo, nih lihat, si Eya lagi minta perhatian.” Kak Sisi mencubit gemas pipi-ku.
“HAHAHAHAHAHAHA!!!!!” Kak Elma, Kak El, dan Kak Sisi tertawa lebar melihatku dengan muka sebal.
“Ini tidak lucu!” Aku berteriak.
“Tidak lucu katamu? Ini sungguh lucu.” Kak Elma berkata lalu melanjutkan ketawanya.
“Sudah dong ketawanya…” Aku memohon dengan nada kesal, oang lagi marah kok malah di ketawain?
Kita membuat banyak makanan, semuanya lezat, pasti karena Magic Wooden Spoon.
“Oh yeah!” Kak El berteriak bahagia, dia melihat sebuah mobil diluar. “Lihatlah, Paman dan Bibi sudah datang!” Kak El menunjuk keluar, membuat kita semua berlari menuju ke jendela.
“Hmmmm, kalian yakin?” Tiba-tiba Kak Sisi bertanya. “Iya, kenapa tidak?” Kak El berkata mantap.
“El, itu bukan Paman, melainkan….” Sebelum Kak Elma selesai bicara, Aku dan Kak Sisi sudah berteriak.
“ITU TIGA ORANG SERBA HITAM!!!!” Kak Sisi mengunci pintu, Kak El dan Kak Elma mendorong meja dari ruang tamu dan menaruhnya menempel dengan pintu agar susah di dobrak. Kita berlari menuju kamar Kak Sisi.
“Ayo, buka jendalanya!” Kak Elma menyuruh Kak El membuka jendela kamar Kak Sisi.
“Jendela ini susah dibuka!” Kak El menarik-narik jendela itu sekuat tenaga. “Iya, memang, ini sudah lama nggak dibuka.” Kak Sisi menjelaskan sambil ikut menarik-narik jendelanya.
Semua terlambat, terjadi cepat sekali, kita tertangkap basah oleh ketiga orang serba hitam itu. Mereka melakukan ini dengan alasan yang tidak jelas, yang aku tahu adalah…. Mereka melakukan ini karena kita telah memberi tahu kepada banyak orang bahwa mereka mengambil barang-barang berharga di Kastel Brown.
-To Be Continue-