By: Lova Fimayoki
“Eya! Ayo berangkat! Nanti telat!” Mama berteriak dari bawah, dia memasukkan sebuah map berwarna merah.
“I’m coming!” Aku yang sedang menguncir rambutku langsung kaget dan mengambil tasku.
Tap Tap Tap, aku berlari menuruni tangga dan menyusul mamaku yang sudah di mobil.
“Besok mama nggak mau bangunin kamu! Kamu harus bangun sendiri, Dan nggak boleh telat!”
Ya, memang akhir-akhir ini Eya sering telat, dia jadi tidak sarapan karena telat, biasanya dia hanya meminum susu, tapi harus banyak, minum susunya aja di mobil.
“Dan nggak boleh lari di tangga!” Mama menyetir mobilnya, Eya hanya bisa menunduk dan mengangguk pelan, dia takut, dia juga lagi meminum susunya.
“Hhhhh, gini nak, kamu itu harus mandiri.” Mama menghela napasnya. Mereka sudah sampai di sekolah Eya, sekolah Eya emang tidak jauh dari rumah, tapi mamanya kerja, kantor mamanya kan jauh dari rumah.
“Yang pintar ya.” Itu pesan yang selalu keluar dari mulut mama jika Eya mau sekolah.
“Iya mama.” Eya menjawab, lalu dia berlari ke kelas.
“Assalamu’alaikum!” Sekolah Eya adalah sekolah Islam, makanya setiap masuk kelas dia harus salim ke gurunya dan memberi salam.
Eya duduk di sebelah Mei, Mei adalah anak tersibuk yang pernah Eya lihat, selalu saja dia punya sesuatu yang baru.
“Eya, ada yang lihat Eya!?” Tiba-tiba ibu guru Eya memanggilnya, Eya langsung berdiri, dia takut, apakah dia berbuat salah?
“Eya, Kamu kan pintar membuat cerita, bagaimana kalau ibu daftarin kamu ke lomba ini?” Bu guru Eya menawarkan.
Eya mengangguk, Eya adalah anak yang pendiam, tapi dia terkenal di sekolah ini, dia punya kakak sepupu yang jago main basket, basket di sekolah ini sering menang gara-gara dia, sebenarnya Eya terkenal juga karena dia pintar membuat cerita, setiap ada lomba menulis cerita, Eya selalu ikut dan dia selalu menang, tapi sekarang dia bukan lomba menulis cerita di depan murid-murid sekolah ini, tapi banyak orang.
Aku kembali duduk, aku menoleh ke Mei yang dari tadi memperhatikanku. “Kamu ikut lomba menulis cerita? Berarti aku harus lihat perlombaannya, aku dukung kamu ya?” Mei berkata,
Mei adalah anak yang baik, meskipun dia kaya, dia tetap bersikap sederhana.
“Tentu saja kamu harus dukung aku.” Aku menjawab, aku senang bisa ikut lomba menulis cerita untuk orang umum, pokoknya harus kelas 4, dan aku kelas 4! Aku melihat beberapa temanku datang dengan terburu-buru.
“Anak-anak, ibu mau mengumumkan sesuatu sebelum kita berdoa! Ada lomba menulis digital untuk anak kelas 4, dari sekolah kita maxsimal ada 3 anak, kelas sebelah tadi udah ada 1 orang yang ikut, ada yang mau ikut lagi di sini? Tadi Eya sudah ibu daftarkan, anak-anak kelas sebelah nggak banyak yang suka menulis cerita.
“Aku melihat banyak sekali yang angkat tangan, ibu guru pun bertanya.
“Jira, ada apa?” Bu guru bertanya kepada Jira, semua anak di kelas ini tau kalau Jira nggak suka menulis cerita.
“Aku nggak kenapa-kenapa kok, aku cuma mau tanya, lomba menulis digital maksudnya apa?” Pertanyaan Jira kurang bisa di pahami, tapi aku yakin ibu guru pasti paham.
“Maksudmu digitalnya kan? Jadi gini, kalian yang ikut lomba akan diberi tablet buat menulis cerita, jadi maksudnya digital adalah menulis di tablet.”
Semua anak mengangguk. “Selanjutnya, ter.” Ibu guru mempersilahkan.
“Bu, kok maksimalnya sedikit banget? Kan masih ada 4A dan 4C?”
Aku paham dengan pertanyaan ter, aku juga berpikir begitu.
“Karena perlombaan ini buat perempuan.” Bu guru menjawab.
Semua anak ber-oooooh. “Ada lagi yang mau bertanya? Oh, silahkan Ziz.” Aku menoleh ke Ziz yang diam, dia itu kelakuannya mirip aku, pendiam, suka menulis, dan cukup terkenal di sekolah ini, aku yakin dia akan ikut lomba menulis, aku senang kalau dia ikut lomba menulis.
“Aku ingin ikut lomba menulis.” Ibu guru tersenyum. “Ibu daftarkan ya.” Ibu guru berdiri dan mengepalkan tangannya, itu tanda sudah waktunya berdoa.
Saat waktu pulang,
“Mei, aku pulang dulu ya!” Aku melambaikan tangan ke Mei yang lagi sibuk, dia tidak memedulikan lambaian tanganku.
“Huh.” Aku jengkel,
Mei emang baik, tapi kadang dia terlalu sibuk dengan barangnya yang baru. Aku membuka pintu mobil, kulihat seorang lelaki tersenyum ramah, senyumannya bagaikan matahari yang bersinar, itulah papaku, besok lusa dia akan kembali ke apartemennya yang berada di kota lain, aku tidak dekat-dekat banget sama papaku, kesibukannya bekerja membuat dia harus tinggal di apartemen sendirian.
Aku membalas senyuman papaku, hanya beberapa detik.
Sesampainya di rumah, aku turun tanpa melambaikan tangan ke papa, dari kaca mobil yang terbuka, aku bisa melihat papa menghela napas kecewa, tapi papa tetap tersenyum.
“Mamaaaaa!” Aku berteriak bahagia, kelihatan sekali dari muka mama, mama sedang heran, tak biasanya aku bahagia sepulang sekolah.
“Mama tebak, pasti ada lomba menulis di sekolah, ya kan?” Mama mengelus kepalaku. “Tentunya doooong! Tapi yang ini perlombaan umum, aku di daftarin sama bu guru!” Aku bahagia sekali!